MELURUSKAN MAKNA MISTIK
pada dasarnya, manusia adalah makhluk mistik
Bagi sebagian masyarakat yang mengklaim
diri sebagai masyarakat peradaban modern, westernism bahkan sebagian
yang mengesankan perilaku agamis yakni hanya bermain-main sebatas pada
simbol-simbol agama saja tanpa mengerti akekatnya, dan kesadarannya
masih sangat terkotak oleh dogma agama-agama tertentu (kesadaran
“kulit”). Manakala mendengar istilah mistik, akan timbul konotasi
negatif. Walau bermakna sama, namun perbedaan bahasa dan istilah yang
digunakan, terkadang membuat orang dengan mudah terjerumus ke dalam pola
pikir yang sempit dan hipokrit. Itulah piciknya manusia yang tanpa
sadar masih dipelihara hingga akhir hayat. Selama puluhan tahun,
kata-kata mistik mengalami intimidasi dari berbagai kalangan terutama
kaum modernism, westernisme dan agamisme. Mistik dikonotasikan sebagai
pemahaman yang sempit, irasional, dan primitive. Bahkan kaum mistisisme
mendapat pencitraan secara negative dari kalangan kaum agamisme sebagai
paham sesat dan sumber kemusrikan. Pandangan itu salah besar, jika
tidak mau disebut sebagai fitnah keji !
Tentu saja penilaian itu mengabaikan
kaidah ilmiah. Penilaian bersifat tendensius lebih mengutamakan
kepentingan kelompoknya sendiri, kepentingan rezim, dan kepentingan
egoisme (keakuan). Penilaian juga rentan terkonaminasi oleh pola-pola
pikir primordialisme dan fanatisme golongan, diikuti oleh pihak-pihak
tertentu hanya berdasarkan sikap ikut-ikutan, ela-elu, dengan tanpa mau
memahami arti dan makna istilah mistis yang sesungguhnya. Untuk itu,
perlulah kiranya saya ingin berbagi kepada para pembaca yang budiman,
mengenai makna yang sejatinya akan istilah mistis. Dengan harapan
membangun sikap arif dan bijaksana, selalu hati-hati terutama dalam
menilai seseorang atau suatu kelompok, golongan dan cara pandang
masyarakat tertentu. Jika perilaku hidup dan pola piker kita tidak eling
dan waspada, kita akan melebur ke dalam roda “wolak-waliking jaman” di
mana orang salah akan berlagak selalu benar. Orang bodoh menuduh orang
lain yang bodoh. Emas dianggap Loyang (besi). Besi dikira emas. Burung
bangau dianggap dandang (alat menanak nasi). Yang asli dianggap palsu,
yang palsu dibilang asli. Semua serba salah kaprah, kacau-balau, chaos,
dan hidup penuh dengan kepalsuan-kepalsuan.
Eksistensi Mistik
Meskipun demikian, eksistensi mistik yang
sesungguhnya tidaklah berhendi pada perilaku batin (bawa) saja, lebih
utama adalah perilaku jasad (solah). Artinya, mistik bukanlah sekedar
teori namun lebih kearah manifestasi atau mempraktikkan perilaku batin
ke dalam aktivitas hidup sehari-harinya dalam berhubungan dengan sesama
manusa dan makhluk lainnya. Apakah anda ingin menjadi seorang agamis,
yang hanya terpaku pada simbol-simbol agama berupa penampilan fisik,
jenis pakaian, cara bicara, bahasa, gerak-gerik, bau minyak wanginya.
Agamis hanya kenyang teori-teori agama atau dalil-dalilnya saja. Ataukah
sebaliknya anda ingin menjadi seorang praktisi (penghayat) akan
teori-teori tersebut sehingga tidak omong doang. Hal itu menjadi hak
setiap orang untuk memilih, masing-masing akan membawa dampak yang
berbeda-beda.
Dalam menjabarkan istilah mistik, saya
sangat sepakat dengan guru besar Filsafat UGM Prof. Dr. Damarjati
Supadjar, bahwa cirri-ciri mistikisme adalah sbb ;
1. Mistisisme adalah persoalan praktek.2. Secara keseluruhan, mistisisme adalah aktifitas spiritual.
3. Jalan dan metode mistisisme adalah cinta kasih sayang.
4. Mistisisme menghasilkan pengalaman psikologis yang nyata.
5. Mistisisme sejati tidak mementingkan diri sendiri.
Jika kita cermati dari kelima ciri
mistikisme di atas dapat ditarik benang merah bahwa mistik berbeda
dengan sikap klenik, gugon tuhon, bodoh, puritan, irasional. Sebaliknya
mistik merupakan tindakan atau perbuatan yang adiluhung, penuh
keindahan, atas dasar dorongan dari budi pekerti luhur atau akhlak
mulia. Mistik sarat akan pengalaman-pengalaman spiritual. Yakni bentuk
pengalaman-pengalaman halus, terjadi sinkronisasi antara logika rasio
dengan “logika” batin. Pelaku mistik dapat memahami noumena atau
eksistensi di luar diri (gaib) sebagai kenyataan yang logis atau masuk
akal. Sebab akal telah mendapat informasi secara runtut, juga memahami
rumus-rumus yang terjadi di alam gaib.
Sebagai contoh ;
Kenapa simpanan uang di Bank tidak ada
yang hilang di curi makhluk pesugihan ? Atau perhiasan emas di toko emas
tidak bias hilang digondol sejenis jin atau pun siluman pesugihan ?
Secara logis-rasional, makhluk pesugihan yang sering mencuri uang
atau perhiasan di rumah-rumah penduduk seharusnya bias mencuri uang dan
perhiasan di kedua tempat tersebut. Namun kenyataannya kedua jenis harta
kekayaan tersebut tidak bias dicuri oleh makluk gaib sejenis pesugihan
manapun. Hal ini dikarenakan terdapat rumus di alam gaib yang berbeda
dari dimensi bumi. Pada kesempatan selanjutnya saya akan bahas mengenai
sebagian rumus-rumus di alam gaib (hukum di alam gaib) yang sejauh ini
bisa saya ketahui, pernah saksikan dan buktikan dengan mata kepala
sendiri.
Agama sebagai sarana menggapai tataran
spiritual. Sementara spiritual adalah kesadaran tinggi akan nilai-nilai
transenden atau ketuhanan. Mistisisme adalah wujud kesadaran itu dalam
laku perbuatan konkrit. Dengan adanya kesadaran yang cukup memadai akan
bagaimana sesungguhnya yang terjadi di alam gaib hal itu membuka pola
pikir kita sehingga mampu memahami noumena kegaiban secara logis. Hal
ini menjadikan para pelaku spiritual memiliki kemantapan tidak hanya
sekedar yakin, tetapi dapat dikatakan bisa menyaksikan sendiri bagaimana
“rumus-rumus halus” akan bekerja. Antara pengetahuan spiritual dengan
tindakan nyata seiring dan seirama. Bagaikan lirik dengan syairnya.
Aransemen dengan nada-nada musicnya. Sastra dengan gendhingnya.
Sinergis dan harmonis, antara pengetahuan spiritual dengan perbuatannya.
Menjadikan para pelaku spiritual sejati justru terkesan lebih santun
dan memiliki sense on humanity yang tinggi, memiliki kepekaan social,
solidaritas dan toleransi, kepedulian lingkungan social dan alam yang
sangat mendalam.
Perilaku-perilaku yang menunjukkan sikap arif dan
bijaksana dalam menjalani kehidupan ini ketimbang orang-orang bergaya
“agamisme” (kesadaran symbolic) yang terkadang perilakunya lepas
kendali, sewenang-wenang dan beringas, emosional dan reaksional. Karena
merasa diri menjadi sangat kuat telah menjadi orang yang memegang hak
istimewa (privilege) di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Penjelasan singkat mengenai arti harfiah
dan maknawiah tentang mistik, dapat diambil benang merah bahwa mistik
Kejawen adalah laku spiritual berdasarkan pandangan hidup atau falsafah
hidup Jawa. Atau disebut jawaisme (javanism). Yang paling utama dalam
laku spiritual Jawa, adalah perilaku didasari oleh cinta kasih dan
pengalaman nyata. Maka, bagi siapapun yang mengaku menghayati falsafah
hidup Jawa namun perangainya masih mudah terbawa api emosi, angkara
murka, reaksioner, sektarian, dan primordialisme, kiranya belum memahami
secara baik apa itu nilai-nilai dalam falsafah hidup Kejawen. Mistik
kejawen merupakan bagian dari ribuan mistik yang ada di bumi ini. Setiap
masyarakat, bangsa dan budaya biasanya memiliki nilai-nilai tradisi
mistik yang dipegang teguh sebagai pedoman hidup. Sekedar contoh,
misalnya mistik Islam, dikenal dengan tradisi tasawuf, orang-orang yang
mendalami disebut orang-orang zuhud, dan para sufistik. Mistik Budha
atau Budhisme, mistik Hindu atau Hinduisme, dan masih terdapat ratusan
bahkan ribuan lagi banyaknya mistik-mistik di dunia ini.
Mistik lebih fleksibel jika dibandingkan
dengan agama, sebab mistik tidak mempersoalkan apa latar belakang
ajaran, agama, budaya orang yang ingin menghayati. Hal itu tidak
menimbulkan resiko terjadinya benturan nilai-nilai, karena dalam
tradisi mistik yang sesungguhnya, keberagaman “kulit” akan dikupas, lalu
mengambil sisi maknawiahnya yang bersifat hakekat atau esensial. Orang
Jawa, Hindu, Kristen dan Budha, bias saja mempelajari ilmu tasawuf.
Demikian pula sebaliknya, umat Islam bias pula mempelajari falsafah
hidup Jawa. Hanya saja, kecenderungan kekuasaan rezim agama akan membuat
batasan-batasan tegas kepada para penghayat mistik dengan mistik itu
sendiri. Bahkan sering terjadi prejudis, pencitraan secara subyektif,
dan punishment yang berdasarkan kepentingan rezim. Jangankan terhdap
lintas budaya dan agama, kita ambil contoh sederhana saja misalnya,
sebagian umat Islam melarang sesame umat Islam lainnya masuk ke dalam
wilayah mistik Islam. Pelarangan dilakukan dengan dalih agama pula,
sehingga pelarangan seringkali bekerja secara efektif membelenggu
dinamika kesadaran umat. Yang terjadi adalah umat yang terkesan “agamis”
tetapi sangat miskin pencapaian spiritualnya.
Hal Yang Berbeda Dalam Mistik Kejawen
1. Kejawen tentu saja tidak memiliki
kitab suci sebagaimana layaknya semua agama-agama yang ada. Karena
Kejawen bukanlah agama melainkan pandangan hidup yang sudah turun
temurun ribuan tahun, melalui proses interaksi antara manusia (jagad
kecil/mikrokosmos) dengan jagad raya (jagad besar/makrokosmos). Manusia
dapat membaca rumus-rumus serta hukum alam yang ada dan berlaku meliputi
tata kosmos. Pengetahuan akan rumus-rumus dan hukum alam lama kelamaan
mengkristal menjadi tatanan nilai kehidupan manusia dalam berhubungan
dengan lingkungan alam dan seluruh makhluk. Nilai yang menghasilkan
kebijaksanaan. Disebut juga nilai kearifan lokal atau local wisdom.
Sebab itu “kitab suci” bagi spiritual Jawa adalah rangkaian tata kosmo
yang penuh dengan pola keseimbangan dan keselarsan yang harmonis.
Semua
itu dapat dibaca dan dilihat melalui bahasa alam. Lazimnya disebut
sebagai SASTRA JENDRA, atau segala kejadian dan peristiwa alamiah yang
didalamnya memuat hukum sebab akibat yang merupakan ketentuan alamiah.
Hukum sebab akibat dan ketentuan alamiah yang berlaku di jagad raya ini
lazimnya disebut hukum alam, atau kodrat alam yang dapat menjadi
barometer dan petunjuk hidup bagi manusia dalam menjalani kehidupan
sehari-hari. Selain itu, Kejawen juga mampu berasimilasi dan sinkretisme
dengan nilai-nilai agama yang pernah ada di bumi nusantara. “Kitab
Suci” Kejawen adalah hidup itu sendiri. Hidup yang meliputi jagad
gumelar. Terdiri dari kehidupan sehari-hari, kesejati di dalam diri, dan
apa yang ada di dalam lingkungan alam sekitarnya. Semua itu disebut
sebagai “kitab satra jendra”. Cara membacanya bukan dengan ucapan lisan,
melainkan dengan perangkat ngelmu titen yang berlangsung turun-temurun.
Membaca “kitab sastra jendra” dengan menggunakan gelmu titen, indera
yang digunakan adalah indera keenam (six-sense) atau indera batin.
Keberhasilannya ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam mengolah
rahsa-pangrasa yakni rasajati atau rahsa sejati.
Berbeda dengan nilai agama yang bersifat statis, kaku atau saklek dan anti-perubahan, nilai-nilai dalam falsafah hidup Jawa bersifat fleksibel dan selalu berusaha mengolah nilai-nilai kebudayaan asing yang masuk ke nusantara misalnya Budha, Hindu, Islam, Kristen, dan sebagainya. Yang terjadi bukanlah kebangkrutan nilai-nilai falsafah Jawa itu sendiri, sebaliknya justru mengalami penyempurnaan seiring perjalanan waktu. Hingga terdapat anekdor, kalau nilai agama masuk sampai mendarah- daging, pandangan hidup Jawa bahkan mbalung-sungsum sehingga tidak pernah lapuk dan selalu eksis. Tidak hanya pada usia tua, bahkan masyarakat usia muda banyak pula yang diam-diam menghayati dan mengakui fleksibilitas dan kedalaman falsafah Kejawen. Seperti kekuatan misterius, terkadang semangat penghayatan dirasakan tiba-tiba muncul dengan sendirinya seperti panggilan darah.
3. Ritual, yang dilakukan oleh penghayat falsafah hidup Jawa. Walaupun latar belakang keagamaan masyarakat Jawa berbeda-beda, namun memiliki unsur kesamaan dalam tata laksana ritual Jawaisme. Bedanya hanyalah pada bahasa yang digunakan dalam doa atau mantra. Namun hakekat dari ritual adalah sama saja yakni bertujuan untuk selamatan. Selamatan adalah tata laku untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan yang Mahasuci. Maka dalam ritual banyak terdapat ubo rampe, atau syarat-syarat sesaji, di dalamnya banyak sekali mengandung maksud permohonan doa kepada Tuhan YME. Misalnya pada saat bulan Ruwah merupakan bulan arwah dilaksanakan acara selamatan nyadran. Bulan ruwah tepatnya satu bulan menjelang bulan puasa, hendaknya orang memuliakan para arwah leluhurnya, mendoakannya agar mendapat tempat yang mulia, luhur, dan suci.
Dibuatlah ketan, kolak dan kue apem, berarti sedaya kalepatan nyuwun pangapunten. Mohon ampunan atas segala kesalahan semasa hidup. Apem berarti affuwwun, adalah lambang permohonan ampunan kepada Tuhan. Dilanjutkan acara nyekar atau ziarah dan gotong royong bersih-bersih serta merawat makam para leluhurnya sebagai wujud tindakan nyata rasa berbakti dan memuliakan pepundennya yakni para leluhurnya. Karena bagi masyarakat mistik Jawa, berbakti kepada orang tua, dilakukan tidak saja selama masih hidup, namun saat sudah meninggal dunia pun anak turun tetap harus berbakti padanya. Tidak ketinggalan pula acara bersih desa, sungai, hutan, sawah, ladang, sebagai bentuk kesadaran diri untuk selalu menghargai alam semesta sebagai anugrah terindah Tuhan yang Mahapemurah.
4. Istilah ritual seringkali diartikan secara kurang proporsional, dianggap hanya sekedar menjadi basa-basi tradisi yang irasional. Kadang malah dianggap pula sebagai kegiatan buang-buang waktu, beaya dan tenaga alias mubazir. Secara ekstrim ritual dikonotasikan sebagai kegiatan yang melenceng dari kaidah atau norma agama. Tuduhan itu sangat menyakitkan, karena tentunya hanya terucap oleh orang-orang yang tidak mampu memahami apa makna yang sesungguhnya dari mistik dan ritual. Padahal, ritual adalah tata laku yang melekat tidak bisa dipisahkan dari setiap agama, ajaran, tradisi dan budaya manapun di dunia ini. Dalam Budhisme dan Hinduisme, Islam, Yahudi, Nasrani, Kong Huchu, Sakura, dll banyak sekali terdapat berbagai ritual keagamaan. Mulai dari peringatan hari besar keagamaan hingga berbentuk tradisi agama.
Bahkan masyarakat modern, tradisi Barat, masyarakat akademik, masyakarat medik, semua memiliki ritual-rutual khusus yang dutujukan untuk meraih kesuksesan termasuk keselamatan. Dalam masyarakat Jawa ritual selamatan atau slametan menjadi main stream penghayatan perilaku mistik Kejawen. Di dalamnya terdapat simbol-simbol atau perlambang berupa sesaji, mantera, ubo rampe, syarat-syarat tertentu. Semua ubo rampe sesaji mengandung makna yang dalam. Adalah keliru besar mengartikan makna sesaji sebagai pakan setan. Bagi masyarakat Jawa sangat mengenal bahwa “setan” atau makhluk halus bukan untuk diberi makan, tetapi harus diperlakukan secara adil dan bijaksana karena disadari bahwa mereka semua adalah makhluk ciptaan Tuhan juga. Manusia lantas tidak boleh bersikap negatif dan destruktif dengan mentang-mentang, semena-mena, takabur, arogan atau sombong kepada makhluk halus. Karena sikap negatif itu hanya akan membuat manusia jatuh pada derajat yang hina. Itulah keluhuran pandangan hidup manusia yang sering dituduh sebagai masyarakat engan kesadaran primitif dan tidak masuk akal.
5. Sesaji merupakan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi baik secara vertikal maupun horisontal. Karena dasar dari mistik adalah tindakan nyata, sebagai konsekuensinya harus menghindari tabiat buruk tong kososng berbunyi nyaring, atau banyak mulut doang, tetapi enggan menghayati dalam perbuatan sehari-hari. Maka dalam berdoa pun tidak cukup diucapkan melalui mulut. Rasanya kurang afdhol atau kurang besar tekadnya dalam berdoa apabila tidak diwujudkan dalam berbagai simbol yang terdapat dalam sesaji. Misalnya; doa yang beragam hendaknya dilakukan secara tulus, suci, hati yang “putih bersih” tidak terpolusi nafsu duniawi, dan ditujukan hanya kepada Hyang Widhi atau Tuhan Yang Mahatunggal. Maka hal itu diwujudkan dalam bentuk tumpeng nasi putih berbentuk kerucut, besar di bawah, runcing di bagian atas.
Bubur merah dan bubur putih dalam bancakan weton sebagai lambang ibu dan bapa. Hendaknya anak selalu ingat pada pengorbanan orang tua sejak ia di dalam kandungan ibu, lalu dilahirkan dan diasuh hingga dewasa dan mandiri. Bubur merah silang bubur putih, merupakan gambaran hubungan ibu dengan bapa diikat dengan tali cinta kasih yang tulus, sampai membuahkan anak sebagai anugrah buah cinta, dilambangkan dalam bubur baro-baro, yakni bubur putih ditumpangi parutan kelapa dan gula merah. Masih banyak lagi contoh yang dapat kita pelajari satu persatu maknanya secara esensial.
Ilmu “Kesaktian” Sejati
Dengan pencapaian pamoring kawula-Gusti, akan menciptakan ketenangan batin sekalipun menghadapai situasi dan kondisi yang sangat gawat. Karena antara manusia sebagai mahluk dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta terjadi titik temu yang harmonis. Batin manusia selalu tersambung dengan getaran energi Tuhan, menjadi dasar atas segala tindakan yang dilakukannya. Atau disitilahkan sebagai sesotya manjing embanan, ing batin amengku lair. Sesotya adalah ungkapan yang mengandikan Tuhan bagaikan permata yang tiada taranya. “Permata” yang menyatu ke dalam embanan. Embanan sebagai ungkapan dari jasad manusia. Tuhan yang bersemayam di dalam batin (immanen), melimputi seluruh yang ada “being” di dunia ini. Jika manusia berhasil manembah, otomatis ia akan menjadi manusia yang sekti mandraguna.
Kesaktian sejati, bukan berasal dari usaha yang instan hanya dengan rapal wirid semalam suntuk, atau membeli dengan mahar. Namun kesaktian itu diperoleh seseorang apabila berhasil menghayati sesotya manjing embanan, ing batin amengku lair. Seseorang selalu manembah dalam setiap perbuatannya. Cirikhas orang yang kesaktiannya berkat manembah (kesaktian sejati/ilmu putih) apabila perilaku dan perbuatan sehari-harinya selalu sinergis dengan sifating Gusti; Welas tanpa alis (kebaikan tanpa pamrih jasad/nafsu/duniawi), tidak menyakiti hati, tidak mencelakai, dan merugikan orang lain. Dilakukan dalam kurun waktu lama, tidak angin-anginan atau plin-plan, dilakukan secara konsisten, teguh, dan penuh ketulusan serta kasih sayang tanpa pilih kasih.
Sekian dulu ya!!! artikel mistisnya nanti dilanjut
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan kata-kata sopan, tidak SARA dan mengandung Unsur Pornografi